Selasa, 17 April 2012

TESOS - Max Weber

MAX WEBER DAN MASALAH RASIONALITASNYA ..


Dengan Weber, masalah-masalah motivasi individu dan arti subyektif menjadi penting. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menganalisa hubungan yang penting antara pola-pola motivasi subyektif dan pola-pola institusional yang besar dalam masyarakat. Weber memilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatianya yang utama; konsep ini sama pentingnya dengan konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat Barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Karena kriteria rasionalitas menjadi kerangka acuan maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagian dapat diatasi. Rasionalitas merupakan dasar logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial.

I.            RIWAYAT HIDUP MARX WEBER

Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia tahun 1864 tapi dibesarkan di Berlin. Keluarganya adalah Protestan, sangat termakan oleh kebudayaan borjuis. Ayahnya adalah seorang Hakim di Erfurt dan ketika di Berlin menjadi penasihat di pemerintahan kota serta menjadi anggota Prussian House of Deputies dan German Reichstag. Ayahnya juga terlibat dalam Partai Liberal Nasional sehingga nampaknya ia senang dengan kompromi politik dan kesenangan borjuis. Ibunya, Helen Fallenstein Weber, memiliki keyakinan agama yang besar, yang bertolak belakang dengan suaminya. Hal inilah yang merupakan elemen dalam konflik batin yang diderita Weber serta mengundang suatu analisa psikoanalistis seperti biografi yang ditulis oleh Mitzmann.
Pada usia 18 tahun, Weber mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Studinya di Heidelberg terganggu karena tugas militer di Strasbourg selama satu tahun dimana ia menjalin hubungan erat dengan pamannya, Hrman Baumgarten. Weber meneruskan studi akademisnya di Berlin dan mulai membantu pengadilan hukum disana. Tahun 1889 ia menyelesaikan tesis doktoralnya ("History of Commercial Societiees of the Middle Ages"). Lalu dia mengajar di Universitas Berlin dan sementara masih bekerja sebagai pengacara. Ia masih hidup dengan keluarganya sampai tahun 1893 saat dia menikahi Marianne Schnitzer.
1.   Gangguan dalam Karir Akademisnya
Weber membaktikan waktunya untuk menjadi profesor ekonomi di
Universitas Freiburg tahun 1894. Masalah keluarga membuat kondisi fisik dan psikologinya terganggu sampai dia dirawat di RS tahun 1899. Tahun 1918 Weber dapat memberikan kuliah selama satu semester di Universitas Wina. Tahun 1903 ia bergabung di Sombart untuk menerbitkan Archiv fuer Sozialwissenschaft und Sozialpolitik yang menjadi jurnal ilmu sosial terkenal di Jerman. Tahun 1904 ia menerbitkan bagian pertama bukunya yang berjudul Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Tahun 1910 ia mendirikan German Sociological Society. Lalu ia melanjutkan karya utamanya, Wirtschaft und Gesselschaft (Economy and Society). Weber meninggal dunia pada tanggal 14 Juni 1902 karena menderita penemoni.
2.   Iklim Sosial dan Politik
Iklim sosial dan politik di Jerman pada masa Weber, sebagian merupakan akibat dari kenyataan bahwa Revolusi Industri dan perubahan yang berhubungan dengan revolusi dalam ekonomi terjadi lebih kemudian di Jerman. Perkembangan industri dan kekuasaan ekonomi di barat Jerman melesat, sementara di timur masih didominasi oleh pola feudal tradisional dimana nilai gaya hidup aristokratik hidup.
Struktur sosial politik di Jerman ditandai oleh perpecahan antara struktur ekonomi dan struktur politik. Struktur ekonomi semakin dikuasai oleh sistem industri dan kaum borjuis, sedangkan nilai budaya dan politik didominasi oleh semifeodal yang tradisional dan konservatisme birokratis. Minat Weber dalam bidang politik menjadi moderat karena pendiriannya yang kuat pada obyektivitas intelektual. Ia memiliki kepercayaan akan suatu sistem politik yang demokratis yang merangsang munculnya pemimpin-pemimpin politik yang kuat. Meskipun Weber simpati terhadap masalah kelas pekerja di kota, perhatian utamanya adalah bahwa kelas pekerja itu harus terlibat dalam mendukung tujuan nasionalisme Jerman. Sosiologi Weber harus dimengerti dalam konteks latar belakang sosial-politik masyarakat Jerman.

II.          TINDAKAN INDIVIDU DAN ARTI SUBYEKTIF

Weber sangat tertarik pada masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan kebudayaan, tapi dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti.
1.   Gambaran Weber tentang Kenyataan Sosial vs Durkheim
Durkheim melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang bebas; Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan sosial. Durkheim melihat masyarakat sebagai sesuatu yang riil, berada terlepas dari individu dan bekerja menurut prinsipnya yang khas. Teori itu membandingkan masyarakat dengan organism biologis dalam pengertian bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan lebih; Weber melihat kaum nominalis berpendirian bahwa hanya individulah yang riil secara obyektif, dan bahwa masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Perbedaan penting lainnya adalah mengenai proses-proses subyektif. Tujuan Weber untuk masuk ke segala sesuatu yang berhubungan dengan “kategori interaksi manusia”. Latar belakang intelektual di masa Weber menekankan pada idealisme dan historisisme.
2.   Menjelaskan Tindakan Sosial Melalui Pemahaman Subyektif
Aspek pemikiran Weber yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif). Hasil dari kegagalan teoretisi sosial adalah berupa suatu filsafat sosial atau interpretasi keliru mengenai perilaku manusia. Weber berpendirian bahwa sosiologi haruslah merupakan ilmu empirik, sosiologi harus menganalisa perilaku actual manusia individual. Weber mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah dapat merupakan suatu dasar untuk memberikan pertimbangan nilai. Weber mengakui bahwa nilai mempengaruhi karya ilmiah. Obyektivitas dan netralitas nilai masih diakui sebagai bagian dari warisan Weber untuk sosiologi masa kini.
3.   Analisa Tipe Ideal: dari Peristiwa Unik ke Proporsi Umum
Weber mengemukakan bahwa “suatu tipe ideal dibentuk dengan suatu penekanan yang berat sebelah mengenai satu pokok pandangan atau lebih atau dengan sintesa dari gejala-gejala individual kongkret, yang sangat tersebar, memiliki sifatnya sendiri yang kurang lebih ada dan kadang tidak ada, yang diatur menurut titik pandangan yang diberi tekanan secara berat kedalam suatu konstruk analistis yang terpadu”. Tipe ideal yang paling terkenal dari Weber adalah birokrasi. Dengan cara ini Weber dapat mempelajari satuan-satuan sosial yang lebih besar, yang didasarkan pada tindakan yang khas, dari individu yang khas, dalam situasi sosial yang khas pula.

III.        TIPE-TIPE TINDAKAN SOSIAL

Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis tindakan sosial yang berbeda. Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek subyektif perilaku dinilai secara obyektif. Tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.
1.   Rasionalitas Instrumental (Zweckrationalitat )
Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat  yang dipergunakan. Tindakan ekonomi dalam sistem dasar merupakan bentuk dasar Rasionalitas Instrumental ini. Tipe tindakan ini juga  tercermin dalam organisasi birokratis.
2.   Rasionalitas yang Beriorientasi Nilai ( Wertrationalitat )
Yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuannya sudah ada dalam nilai individu yang bersifat absolute. Tindakan Religius merupakan bentuk dasar dari Rasionalitas ini.
3.   Tindakan Tradisional
Merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Weber melihat
bahwa tipe tindakan ini sedang hilang, lenyap karena meningkatnya rasionalitas ini.
4.   Tindakan Afektif
Ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau
perencanaan yang sadar. Tindakan itu tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, sosiologis, dsb.

Keempat tipe tindakan sosial ini merupakan tipe ideal. Weber mengakui bahwa tidak
banyak tindakan. Membuat pembeda anntara tipe tindakan ini penting untuk memahami pendekatan Weber terhadap organisasi sosial dan perubahan sosial. Tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola motivasional.

IV.         TINDAKAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL

Meskipun tulisan Weber secara metodologis menekankan pentingnya arti subyektif dan pola motivasional, karya substansifnya meliputi suatu analisa structural dan fungsional. Struktur sosial dalam perspektif Weber didefinisikan dalam istilah yang bersifat probabilistic dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik. Realitas akhir yang menjadi dasar satuan sosial yang lebih besar ini adalah tindakan sosial individu dengan arti subyektifnya.
1.   Stratifikasi: Ekonomi, Budaya dan Politik
Pengaturan orang secara hirarkis dalam suatu sistem stratifikasi sosial merupakan satu segi yang sangat mendasar dalam pandangan Weber mengenai Struktur Sosial. Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar  yang fundamental untuk kelas. Baginya karakteristik kelas sosial yakni (1) sejumlah orang yang sama-sama memiliki komponen tertentu yang merupakan sumber dalam kesempatan hidup mereka (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa pemilikan benda dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan (3) hal itu terlihat dalam kondisi komoditi / pasar tenaga kerja.
Menurut Marx dan Weber, posisi kelas ditentukan oleh kriteria obyektif yang berhubungan d engan kesempatan hidup dalam dunia ekonomi. Selain posisi ekonomi dan kehormatan kelompok status, dasar lain untuk stratifikasi sosial adalah kekuasaan politik. Bagi Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang meskipun mendapat tantangan dari orang lain. Partai politik merupakan tipe organisasi di mana perjuangan untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan dinyatakan paling jelas di tingkat organisasi rasional. Struktur kekuasaan tidak harus setara dengan struktur otoritas (kemungkinan dimana seseorang akan ditaati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya untuk mempengaruhi). Pendekatan Multidimensional terhadap stratifikasi sosial menghasilkan perspektif baru yang mencakup inkonsistensi status. Implikasinya adalah selain keseluruhan posisi seseorang dalam stratifikasi itu penting begitupun dengan tingkat di mana posisi dalam sistem stratifikasinya itu sendiri.




 2.   Tipe Otoritas dan Bentuk Organisasi Sosial
Tindakan sosial individu membentuk bangunan dasar untuk struktur sosial yang lebih besar. Dalam The Theory of Social and Economic Organization, Weber meletakkan dasar ini dengan mengembangkan distingsi tipologis yang bergerak dari tingkatan hubungan sosial ke tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi mendasari analisa Weber meengenai institusi ekonomi, politik, dan agama serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi utama dalam membangun otoritas.
a.    Otoritas Tradisional
Tipe ini berlandaskan pada "suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya". Weber membedakan tiga otoritas tradisional: gerontokrasi, patriarkalisme, dan patrimonialisme. Feodalisme adalah suatu sistem dominasi tradisional dimana berkurangnya otoritas patrimonial sudah berkembang sampai ke suatu titik dimana hubungan kaum militer atau administrative dikendalikan oleh kontrak dan tidak oleh pendudukan dari penguasa. Tipe ini berlawanan dengan sultanisme yang merupakan sistem patrimonialisme dimana kekuasaan dan otoritas penguasa yang leluasa sifatya itu adalah maksimal.
b.   Otoritas Karismatik
Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi. Menurut Weber, karisma adalah suatu mutu tertentu yang terdapat dalam kepribadian seseorang yang karenanya dia terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal tertentu. Kepemimpinan karismatik tidak diorientasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Gerakannya bersifat tidak stabil. Hal lainnya yang menuju rutinitas karisma meliputi kebutuhan untuk membereskan konflik, kebutuhan akan sumber dukungan ekonomi yang dapat dipercaya, kebutuhan untuk mengembangkan suatu dasar untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan penerimaan dan sosialisasi anggota baru.
c.    Otoritas Legal-Rasional
Otoritas ini didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Orang yang sedang melaksanakan otoritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial (rasionalitas instrumental).
3.   Bentuk Organisasi Birokratis
Otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber mengenai birokratis berbeda dengan sikap yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros dan tidak rasional. Sebagian analisa Weber mengenai birokrasi mencakup karakteristik yang dilihatnya sebagai tipe ideal (ciri-ciri suatu gejala empirik). Organisasi ini efisien karena memiliki cara yang sistematis menghubungkan kepentingan individu dan tenaga pendorong dengan pelaksanaan fungsi organisasi. Selain itu karena adanya pemisahan yang tepat dan sistematis serta apa yang bersifat pribadi (emosi, perasaan, dan hubungan sosial pribadi)
4.   Tipe-Tipe Otoritas Campuran
Hubungan otoritas dalam keadaan riil cenderung mencerminkan tingkat-tingkat yang berbeda. Sehubungan dengan ini Etzioni mengembangkan suatu model dinamika organisasi yang mendiskusikan secara eksplisit manifestasi pengaruh karismatik yang terus-menerus dalam organisasi birokratis. Dia berpendapat bahwa salah satu tantangan organisasi birokratis adalah untuk memanfaaatkan pengaruh karismatik yang ada pada pegawai dalam organisasi itu. Studi psikologi sosial mengenai kepemimpinan, menerima perbedaan penting yang terdapat dalam mutu pribadi yang menyatakan pengaruhnya dalam suatu organisasi. Tekanan Weber sendiri dalam menggunakan konsep-konsep tipe ideal ini adalah untuk menunjukkan betapa otoritas legal-rasional itu berkembang dalam masyarakat modern, masyarakat industri kota dengan mengorbankan otoritas tradisional.

V.           ORIENTASI AGAMA, POLA MOTIVASI, DAN RASIONALISASI
Pertumbuhan organisasi birokratis tidak hanya mencerminkan keruntuhan beberapa
bagian dalam tradisi dan munculnya suatu pendekatan yang semakin sistematis dan rasional. Kecenderungan yang sama terhadap rasionalisasi uga dirangsang oleh perkembangan Protestantisme. Analisa Weber mengenai Etika Protestan mencerminkan dan memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dan yang lebih penting memperlihatkan peran di mana ide agama berperan dalam meningkatkan perubahan sosial. Dengan tulisan ini Weber bermaksud memperbaiki interpretasi materialis yang berat sebelah dalam pandangan Marx mengenai sejarah khususnya mengenai sistem kapitalis.
1.   Weber dan Marx Mengenai Pengaruh Ide Agama
Menurut Marx, perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan sejarah serta transisi dari suatu tipe ke tipe struktur sosial lainnya. Perubahan revolusioner pun menuntut supaya ilusi dan institusi agama dihancurkan. Weber mengakui pentingnya kondisi materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi kepercayaan, nilai, dan perilaku manusia. Sebenarnya, Weber memperluas perspektif Marx tentang stratifikasi. Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga materil. Weber merasa perlu mengakui pengaruh timbal-balik antara kepentingan ideal dan kepentingan materil dan menentukan secara empiris dalam kasus individu, apakah kepentingan materil atau ideal yang lebih dominan.
2.   Kepercayaan Protestan dan Perkembangan Kapitalisme
Analisa Weber dalam bukunya The Protestantt Ethic and the Spirit of
Capitalism harus dilihat dalam konteks keseluruhan usahanya untuk memperlihatkan pengaruh ide yang bersifat independen dalam perubahan sejarah. Untuk mengatakan bahwa ada elective affinity antara etika Protestan dan semangat kapitalisme, berarti bahwa jenis motivasi yang timbul karena kepercayaan dan tuntutan etis Protestantisme membantu merangsang jenis perilaku yang dibutuhkan atas lahirnya Kapitalisme borjuis modern. Baik Protestantisme maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup yang rasional dan sistematis. Etika Protestan merangsang atau mendorong kapitalisme. Faktor lainnya adalah kondisi materil dan kepentingan ekonomi. Pengaruh Protestantisme pada kapitalisme tidak melekat selamanya. Weber mengakui bahwa sesudah kapitalisme berdiri, ia menjadi otonom dan berdikari, dan dia mencatat bahwa dukungan agama tidak lagi ada dimasa Benjamin Franklin.
Ini berarti bahwa kritik yang menekankan sifat kapitalisme masa kini yang murni sekuler itu dimana motivasi yang harus ada untuk mempertahankan sifat materialistik, atau yang memperlihatkan bahwa agama Protestan dan Katolik tidak memperlihatkan perbedaan dalam aspirasi dan prestasi benar-benar merupakan tanggapan yang salah dari Weber. Hubungan jangka panjang antara Protestantisme dan kapitalisme dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialektik, dimana Protestantisme membantu pertumbuhan kapitalisme di masa awalnya, tapi akhirnya dirusak dan diganggu oleh pengaruh kapitalisme yang sudah sekuler.
3.   Etika Protestantisme sebagai Protes terhadap Katolisisme
Bagi Weber, etika Protestan memperlihatkan suatu orientasi agama yang
bersifat asketik dalam dunia (inner-worldly). Asketisme dalam dunia menunjuk pada komitmen untuk menolak kesempatan dan menuruti keinginan fisik untuk mengejar suatu tujuan spiritual; tujuan ini harus dicapai melalui komitmen yang sistematis. Menurut Weber, kegiatan ekonomi merupakan bentuk yang paling tinggi dimana kegiatan moral individu dapat terlaksana. Protestantisme membantu meningkatkan kapitalisme dengan meenyucikan kegiatan ekonomi sebagai sesuatu yang mempunyai arti religious di dalam suatu abad dimana motivasi individu yang sangat religius.  Pembedaan ini secara bertahan diterima dan diresmikan, dan akibatnya adalah terbukanya kemungkinan baru untuk akumulasi modal dan membiayai usaha raksasa melalui kreditm semuanya dalam etika Protestan.
4.   Etika Protestan dan Proses Sekularisasi
Yang ditekankan Weber adalah bahwa ide-ide tertentu dalam Protestantisme
memperlihatkan suatu perubahan dari tradisionalisme ke suatu orientasi yang lebih rasional. Ide-ide Weber mengenai pengaruh etika Protestan tidak didasarkan pada analisa sejarah yang sistematis. Tujuannya bukan untuk menelusuri perkembangan sejarah Protestantisme. Sebaliknya, dia bergerak di antara pelbagai cabang Protestantisme di pelbagai periode dalam sejarah Protestan. Aliran utama dalam Protestantisme dimana ia mengambil prinsip utama mengenai etika Protestan yang mencakup Luther, Kalvinisme, Pietisme, Puritanisme, Metodisme, dam sekte Baptis. Meskipun tekanan utama aliran ini berbeda, untuk tujuan kita pusat perhatiannya adalah pada masal etis yang sama.


5.   Protestantisme Dibandingkan dengan Agama-Agama Dunia Lainnya
Kasus etika Protestan menggambarkan tekanan Weber yang utama dalam teorinya yang berhubungan dengan peran yang independen dimana ide-ide agama dapat memainkan peran dalam menggalakkan perubahan sosial. Karya Weber mengenai agama besar di dunia sangatlah bernilai. Dia menganalisa agama sebagai suatu dasar utama bagi pembentukan kelompok status dan pelbagai tipe struktur kepemimpinan dalam agama itu. Dia menerima saling ketergantungan timbal-balik antara kepercayaan agama dan motivasi di satu pihak, dan gaya hidup serta kepentingan materil di pihak lainnya. Betapa kritik literature kelihatannya salah menginterpretasi apa yang sesungguhnya Weber maksudkan. Orientasi membantu melegitimasi kegiatan ekonomi kaum kapitalis di masa awal, namun Weber tidak pernah mengemukakan bahwa kelanjutan dari suatu sistem kapitalis yang sudah mantap akan membutuhkan legitimasi agama terus-menerus. Seperti kita lihat di depan, kapitalisme  menjadi berdikari; tambahan pula konsumsi kapitalis sebenarnya membantu kerusakan orientasi agama yang bersifat asketis dalam Protestantisme.
6.   Etika Kerja Masyarakat Modern
Isu etika kerja merupakan isu dasar dalam sosiologi masa kini. Weber
berspekulasi bahwa dia tidak melihat suatu kemungkinan yang jelas bagi dominasi organisasi birokratis yang terus menerus membesar. Rasionalitas dan efisiensi yang terus meningkat dapat kita lihat dalam motivasional dan organisasional. Dalam memenuhi tuntutan pekerjaan rutin yang sangat tinggi spesialisasinya, sistematis, dan dapat diperhitungkan dalam organisasi yang dikontrol secara impersonal, orang harus mengorbankan spontanitasnya, hubungan personalnya, kesempatan untuk mengungkapkan emosi, dan kemampuan untuk menjadi manusia yang utuh. Weber melihat masa depan dengan mata yang suram dalam melihat biaya psikologis yang mengertikan dari etika kerja sekuler yang memaksa yang disalurkan ke dalam peran birokratis yang sempit sehingga etika kerja itu kehilangan dayanya.

Dipostkan oleh : Ajruni Wulandestie Arifin . Selasa, 17 April 2012 pukul 6:28 WIB .

Referensi
 
Johnson, Doyle P. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Diterjemahkan Oleh : Robert M.Z. Lawang. Jilid 1. Bab VI p. 207. Jakarta-Indonesia : PT Gramedia.

TESOS - Emile Durkheim

EMILE DURKHEIM ..
Mendirikan Sosiologi Sebagai Satu Ilmu Tentang Integrasi Sosial ..



Dari titik tolak yang praktis, penting untuk mengetahui sedikit tentang bagaimana memotivasi agar suatu kelompok terlibat dalam kegiatan kelompok itu, bagaimana meningkatkan moralnya, dan mengatasi konflik. Tetapi hal-hal ini hanyalah sebagian dari suatu masalah yang lebih besar dan lebih umum yang sudah lama dianggap penting oleh para ahli ilmu sosial. Ini merupakan masalah integrasi sosial dan solidaritas yang dilihat bukan hanya dalam hubungannya dengan kelompok atau organisasi tertentu, melainkan juga dalam hubungannya dengan masyaraka secara keseluruhan. Bagi beberapa ahli Sosiologi, masalah sentral dalam analisa sosiologi adalah menjelaskan keteraturan sosial yang mendasar yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Inilah masalah utama bagi Durkheim, dan juga salah satu masalah pokok dalam perspektif fungsional masa kini, khususnya yang diwakili oleh Parsons dan pengikutnya.
          Istilah ‘keteraturan sosial’ disini menunjuk pada sumber-sumber dukungan yang mendasar terhadap pola-pola institusi yang dominan dalam masyarakat yang meliputi sistem nilai masyarakat yang dimiliki, ide-ide moralitasnya, kepercayaan bersama yang melegitimasi atau mendukung pola institusi pokok dan memberikan arah serta arti bagi individu yang berpartisipasi dalam masyarakat. Meskipun masyarakat yang hidup mungkin tidak pernah memperlihatkan keadaan anarki alamiah seperti yang dikemukakakan Hobbes, masyarakat itu berbeda dalam tingkat integrasi sosial atau kuatnya keteraturan sosial. Gejala seperti alienasi yang meluas, sinisme yang meningkat, standar moralitas pribadi yang berubah cepat (pola pekerjaan, seks, dan keluarga) dan banyak lagi suara pelbagai kelompok yang mengejar kepentingan ekonominya menunjukkan bahwa keadaan keteraturan sosial terancam oleh pelbagai bentuk disintegrasi.
          Solidaritas sosial dan integrasi merupakan permasalahan substansif yang diperhatikan Durkheim dalam karya utamanya. Durkheim juga mengemukakan bahwa analisanya harus didasarkan pada data empiris dan data ini harus mengenai masyarakat atau struktur sosial itu sendiri bukan data individual. Ini penting untuk mendirikan sosiologi sebagai ilmu yang mempunyai data emppirik yang terpisah dan terlepas dari psikologi. Pusat perhatian Durkheim adalah pada tingkat struktur sosial meskipun banyak juga idenya yang berhubungan dengan budaya dan individu. Namun perhatian Durkheim pada solidaritas sosial dan integrasi sangat bertentangan dengan tekanan Marx terhadap kontradiksi dialektik dan konflik kelas.
          Tidak seperti Marx, Durkheim menjadi seorang akademisi yang sangat mapan dan sangat berpengaruh bahkan melembagakan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu yang sah. Pengaruh Durkheim pada perkembangan sosiologi di Amerika sangat besar baik dalam metodologi maupun teori. Pendiriannya mengenai kenyataan gejala sosial yang berbeda dari gejala individu, analisanya mengenai tipe struktur sosial yang berbeda dan mengenai dasar solidaritas serta integrasinya yang berbeda-beda, perhatiannya untuk menelusuri fungsi sosial dari gejala sosial yang terlepas dari maksud / motivasi yang sadar dari individu, pemecahan sosiologisnya mengenai gejala penyimpangan, bunuh diri dan individualisme – dalam semua bidang ini Durkheim memberikan sumbangan penting terhadap perkembangan perspektif sosiologi modern. Pengaruhnya juga sangat mencolok dalam aliran fungsionalisme sosiologi modern.

I.            RIWAYAT HIDUP DURKHEIM

Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Ayah Durkheim adalah seorang rabi, seperti kakeknya juga; dan kalau Durkheim sudah mengikuti kebiasaan tradisional, dia juga sudah menjadi seorang rabi. Untuk sementara ia masuk Katolik. Ia meninggalkan Katolisisme dan menjadi agnostik (tidak mau tahu tentang agama). Mungkin sebagian dari perhatiannya terhadap solidaritas dan integrasi bertumbuh dari kesadarannya bahwa berkurangnya pengaruh agama tradisional merusakkan salah satu dukungan tradisional yang utama untuk standar moral bersama yang membantu mempersatukan masyarakat di masa lampau.
          Pada usia 21, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dia datang ke Paris untuk bisa masuk sekolah Lycee Louis-le-Grand. Durkheim menunjukkan keseriusannya sebagai mahasiswa dan tekanan yang dominan adalah pada sastra klasik, termasuk bahasa Yunani dan Latin. Dua professor di Ecole Nomale Durkheim mendapat pengaruh, seperti dari de Coulanges seorang ahli sejarah, ia mempelajari nilai ilmiah yang kuat, juga tekanan pada consensus intelektual dan agama sebagai dasar solidaritas sosial. Dari Boutroux, seorang ahli filsafat ia mempelajari pentingnya mengakui bahwa ada tingkatan kenyataan yang berbeda dan lebih tinggi. Seperti yang dikembangkan oleh Durkheim bahwa ada satu argument melawan reduksionisme psikologis (ide bahwa gejala sosial dapat dijelaskan dengan cukup baik menurut prinsip psikologi pada tingkatan individu).
          Setelah menamatkan pendidikan, ia mengajar dalam SMA (lycees) di Paris. Di Jerman, ia diperkenalkan Laboratorium Psikologi oleh Wilhelm Wundt seorang ahli psikologi eksperimental. Ia diperkenalkan dengan ide mengenai pembeda antara Gemeinschaft dan Gesellschaft yang sekarang terkenal dalam buku Tonnies (direvisi Durkheim). Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurutnya tidak relevan terhadap masalah sosial dam moral. Pendirian ideologis Durkheim secara pribadi bersifat liberal. Namun dalam prakteknya ia membela hak-hak individu melawan pernyataan yang tidak adil yang dibuat atas nama masyarakat.
1.   Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Akademis
Tahun 1887 ketika berumur 29 tahun, pemberian kuliahnya dan beberapa artikel membuat ia menjadi seorang ahli ilmu sosial yang terpandang. Untuk ini ia diangkat di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas Bordeaux. Kebutuhan untuk mengajar kursus pendidikan memungkinkan Durkheim mengembangkan perspektif sosiologinya mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakilnya dalam sistem pendidikan. Tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor peenuh dalam ilmu sosial. Dua tahun kemudian, ia mendirikan L’Anee Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi. Penerbitan jurnal ini terhenti karena Perang Dunia I. tahun 1899 ia ditarik ke Sorbonne. 1906 ia dipromosikan sebagai professor penuh dalam pendidikan. Tahun 1913 kedudukannya dirubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi. Akhirnya Sosiologi secara resmi didirikan dalam lembaga pendidikan. Pada tahun 1915, Andre (putranya) meninggal dunia. Dan pada tahun 1917 di usia 59 tahun ia meninggal dunia setelah menerima penghormatan untuk karirnya yang produktif dan bermakna serta setelah dia mendirikan sosiologi ilmiah.
2.   Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Pengaruh Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi
sosial muncul karena keadaan keteraturan sosial yang goyah. Singkatnya akibat yang berkepanjangan dari Revolusi Prancis yang meliputi ketegangan yang terus menerus dan konflik-konflik yang berlangsung hampir sepanjang abad 19. Saat itu Durkheim lebih tertarik untuk memahami dasar-dasar munculnya keterarturan sosial, dan ia bertekad untuk mendorong perubahan pendidikan yang akan menanamkan rasa kuat akan moralitas umum dan solidaritas. Durkheim mengakui Comte sebagai pendiri disiplin sosiologi dan juga sependapat tentang masyarakat yang bersifat organis.


3.   Pertentangan dengan Individualime Spencer
Durkheim mempertegas pendekatan sosiologinya yang khusus itu sebagai sesuatu yang bertentangan dengan perspektif Herbert Spencer yang bersifat individualistis. Spencer adalah seorang ahli teori sosial dari Inggris yang sangat berpengaruh di sana selama abad ke-19 dan kemudian di Amerika karena ide-idenya mengenai evolusi dan kemajuan sosial. Spencer juga tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern. Namun pandangannya mengenai masyarakat yang bersifat organis itu berrbeda dalam beberapa hal penting dan juga bertentangan dalam hal asumsi pendekatan.
Model evolusi sosial Spencer tentang kompleksitas sosial yang semakin meningkat melalui peningkatan pembagian kerja hampir sama dengan analisa Durkheim. Spencer kurang tegas dibanding Durkheim dalam mengidentifikasi mekanisme pembagian kerja. Perbedaan yang penting antara Spencer & Comte dan Durkheim adalah gambaran Spencer mengenai kenyataan sosial yang bersifat individualistis.
Pandangan Spencer mengenai peranan yang tepat dari pemerintah berbeda dengan gagasan Comte dan Durkheim. Juga gambarannya yang bersifat individualistik tentang kenyataan sosial. Mengenai pertanyaan bagaimana masyarakat itu dibentuk, kritikan Durkheim terhadap Spencer dan teori-teori individualistik lainnya adalah bahwa mereka tidak menjelaskan ikatan sosial primordial atau konsensus moral atas dasar dimana persetujuan kontraktual antar individu itu penting. Spencer melihat masyarakat dibentuk oleh individu-individu, sedangkan Durkheim melihat individu dibentuk oleh masyarakat. Tekanan pada pentingnya tingkatan sosial merupakan satu dasar teori Durkheim.

II.          KENYATAAN FAKTA SOSIAL

Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim
terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau yang riil, gejala tersebut dapat dipelajari dalam metode empirirk. Pandangan ini mengabaikan consensus normative dan sumber-sumber sosial dari mana individu mendefiniskan kepentingan pribadinya itu. Durkheim membawa kita ke persoalan mengenai macam struktur sosial yang memperbesar jangkauan pilihan yang dapat dibuat oleh individu.
1.   Fakta Sosial Lawan Fakta Individu
Pertanyaan lain yang muncul dari tekanan Durkheim pada kenyataan gejala
sosial yang obyektif menyangkut sifat dasar kenyataan itu. Dia bertahan pada pendiriannya bahwa fakta sosial itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Meskipun karakteristik kelompok mungkin lebh daripada jumlah individu yang meliputi kelompok itu, kelompok tidak dapat secara terpisah dari anggota-anggota individualnya. Namun dalam masa Durkheim hidup dibawah pengaruh positivism, ilmu dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan gejala yang “riil” (factual). Tanpa obyektif riil sebagai pokok permasalahannya, suatu ilmu tentang masyarakat tidaklah mungkin. Hal ini meembuat Durkheim berulang kali mengemukakan khususnya dalam karir awalnya (The Rules of Sociological Method ) bahwa gejala sosial itu adalah benda. Artinya, gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu.
2.   Karakteristik Fakta Sosial
Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga katakteristik yang berbeda. Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadao individu. Kedua, bahwa fakta sosial itu memaksa individu. Jelas bahwa Durkheim dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong atau dipengaruhi. Ketiga, bahwa fakta itu bersifat umum / tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Bagi Durkheim, pentingnya angka sosial itu adalah bahwa mereka merupakan indikasi dari satu kenyataan kolektif yang lebih besar yang tunduk dan menjelaskan pelbagai angka itu. Fakta sosial meliputi gejala seperti norma, ideal moral, kepercayaan, kebiasaan, pola berpikir, perasaan, dan pendapat umum.
3.   Strategi Untuk Menjelaskan Fakta Sosial
Sesudah menemukan sifat fakta sosial, Durkheim menjelaskan dalam bukunya The Rules of Sociological Method tentang bagaimana orang mengembangkan sosiologi sebagai data empiris. Karya ini pantas sebagai karya klasik dalam memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip metodologi dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus menjelaskan hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Prinsip yang kedua adalah bahwa asal usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Prinsip lainnya adalah bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari didalam fakta sosial lainnya.

III.        SOLIDARITAS DAN TIPE STRUKTUR SOSIAL

Dalam satu atau lain bentuk, solidaritas sosial membawahi semua karya
utamanya. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh perasaan emosional bersama. Bab ini seterusnya akan menyajikan analisa Durkheim terhadap solidaritas menurut : (1) Perbedaan-perbedaan dalam tipe solidaritas yang dinyatakan dalam tipe struktur sosial yang berbeda. (2) ancaman terhadap solidaritas dan tanggapan masyarakat tentang analisa ini (3) munculnya dan penegasan solidaritas lewat ritus agama.
1.   Solidaritas Mekanik dan Organik
Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya The Division of Labor in Society. Tujuan dari karya klasik ini adalah untuk menganalisa pengaruh kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk pokok solidaritas sosial. Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya, bukan organisasi dalam masyarakatnya. Bagi Durkheim, indikator paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkuo dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive ). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan keada suatu tingkat homogenitas yang tinggi pada kepercayaan, sentimen, dsb. Sementara solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar.
2.   Kesadaran Kolektif dalam Masyarakat Organik
Kesadaran kolektif memberikan dasar-dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan kontraktual. Durkheim menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam pelbagai kelompok pekerjan dan profesi. Keserupaa dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral atau kode etik bersama.
3.   Evolusi Sosial
Dalam analisa Durkheim mengenai solidaritas mekanik lawan
solidaritas organik terkandung satu model perubahan sosial yang umum. Durkheim mengambil kompleksitas dan spesialisasi yang semakin meningkat dalam pembagian kerja. Durkheim melihat masyarakat industri kota yang modern sebagai suatu perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik. Mengapa pembagian kerja bertambah? Jawaban Durkheim berpusat pada perubahan demografik serta akibatnya pada frekuensi interaksi antara manusia dan pada perjuangan kompetitif untuk mempertahankan hidup.

IV.         ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS

Dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, solidaritas sosial sosia terancm oleh kemungkinan perpecahan kelompok-kelompok kecil yang secara fungsional bersifat otonom dan oleh jenis perilaku menyimpang apa saja yang merusak kesadaran kolektif yang kuat. Peralihan dari solidaritas mekanik ke organik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Karena ikatan sosial primodial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan omunikasi dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja, mugkin ada ikatan-ikaan lainnya yang tidak berhasil menggantiannya. Akinatnya masyarakat menjadi terpecah dimana individu terputus ikatan-ikatan sosialnya, dan dimana kelompok-kelompok yang menjadi perantara individu dengan masyarakat luas tidak berkembang dengan baik.
1.   Sumber-Sumber Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Kompleks
Satu ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik, berkembang ari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar yang berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogenitas yang tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat menjadi kendor. Individu mula mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas yang terdapat dalam masyarakat itu, seperti kelompok pekerjaan. Solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil separti itu tentu saja bersifat mekanik. Kalau solidaritas dengan tingkat ini digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas, maka kemungkinan konflik itu ada, karena kelompok khusus itu mengejar kepentingannya sendiri dengan merugukan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Alasan yang terdapat dalam hukuman bagi perilaku yang menyimpang yang mengancam solidaritas organik berbeda dengan alasan untuk menghukumpenyimpangan yang mengancam solidaritas mekanik. Pada umumnya hukuman terhadap orang yang menyimpang dalam suatu masyarakat organik cenderung lebih bersifat rasional dan disesuaikan dengan besarnya pelanggaran itu. Solidaritas organik dapat jaga rusak karena tekanan yang terlampau berlebih-lebihan terhadap individualisme.
2.   Integrasi Sosial dan Angka Bunuh Diri
Manifestasi utama yang dianalisis Durkheim secara intensif adalah perubahan dalam angka bunuh diri. Proporsi dasar yang digunakan dalam Suicide (penelitian klasik Durkheim) adalah bahwa angka bunuh diri berbeda-beda menurut tingkat integrasi sosial. Durkheim mengidentifikasikan tiga tipe bunuh diri, yaitu: egoistik, anomik, dan altruistik. Untuk kedua tipe yang pertama itu, angka bunuh diri berbeda-beda menurut tingkat integrasi sosial, artinya semakin rendah integrasi, semakin tiggi angka bunuh dir. Bunuh diri egoistik merupakn hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Bunuh diri egoistik dapat disebabkan oleh tekanan budaya pada individualisme maupun oleh kurangnya ikatan pribadi oleh kelompok primer.
Bunuh diri anomik muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Kalau bunuh diri egoistik mencerminkan memudarnya integrasi sosial, maka bnuh diri altruistik merupakan hasil dari suatu tingkatan integrasi sosial yang terlampau kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekankan individualitas ke titik dimana individu dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Bunuh diri altruistik dapat disebabkan oleh dua sebab, yaitu (1) norma-norma kelompok mungkin penuntut pengorbanan kehidupan individu, (2) norma-norma kelompok itu menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu barat untuk dapat  dicapai sehingga individu itu mengalami kegagalan walaupun mereka sudah mereka sudah menunjukan usaha yang paling optimal.
3.   Kemunculan dan Dukungan terhadap Solidaritas
Perhatian Durkheim terhadap landasan-landasan moral masyarakat merangsang perkembangan perspektif sosiologi klasiknya pada fungsi agama yang bersifat sosial. Abalisanya mengenai hubungan timbal balik yang erat antara agama dan masyarakat dapat dikembangkan panjang lebar dalam The Elementary Forms of The Religious Life. Corak utama dari agama apa saja dalam pandangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu dunia yang suci. Durkheim memperbaiki dan menolak beberapa teori yang berlaku yang menjelaskan kepercayaan-kepercayaan akan suatu dunia yang suci sebagai khayalan belaka atau ilusi yang diperlukan oleh orang-orang dalam suatu abad prailmiah untuk menjelaskan gejala-gejala alam. Dia selanjutnya memperliatkan bahwa hubungan dengan kekuasaan ilahi yang bersifat supranatural yang dirasakan orang sama dengan hubungan mereka dengan masyarakat.
4.   Hubungan antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial
Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah kehidupan kolektif, kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan sosial dimana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling keterangan yang sangat erat. Pada intinya menurut Durkheim kepercayaan totemik memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Hubungan antara ritus agama dan kepercayaan dan kehidupan kolektif tetap ada.


5.   Agama dalam Masyarakat Modern
Durkheim mengakui bahwa bentuk-bentuk agama tradisional dimasa hidupnya tidak memperlihatkan kegairahan hidup yang merupakan sifat agama orang arunta di Australia. Dia juga merasa bahwa kurangnya gairah hidup dalam bentuk-bentuk agama di masa hidupnya merupakan gejala rendahnya tingkat solidaritas di dalam masyarakat. Teori Durkheim dapat dikecam karena terlalu sepihak menekankan solidaritas. Namun pasti bahwa model Durkheim tidak diharapkan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh perpecahan yang tajam dan ketidaksepakatan antarkelompok agama yang berbeda.
6.   Asal-Usul Bentuk-Bentuk Pengetahuan dalam Masyarakat
Menjelang akhir buku The Elementary Forms, Durkheim
memperluas pokok pikiran utamanya dengan mengemukakan bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan juga pengetahuan pada umumnya berlandaskan dari dasar sosialnya. Dalam melihat analisa tentang asal-usul pengetahuan dalam masyarakat, jelaslah bahwa pemikiran agama dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi dan mencerminkan tipe struktur sosial di mana pemikiran itu muncul. Meskipun Durkheim tidak mengembangkan perspektif ini dalam sosiologi pengetahuan secara lengkap, perpektif ini mencerminkan asumsi dasarnya yang berhubungan dengan prioritasnya pada masyarakat daripada individu, serta proporsinya yang fundamental yang mengatakan bahwa perkembangan kepribadian individu atau kehidupan subyektif seseorang itu mencerminkan pengaruh lingkungan sosial secara mendalam.



Referensi

Johnson, Doyle P. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Diterjemahkan Oleh : Robert M.Z. Lawang. Jilid 1. Bab V p. 164. Jakarta-Indonesia : PT Gramedia.