A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, tawuran semakin sering
terjadi. Bahkan menjadi fenomena sosial yang dianggap biasa ketika dilakukan
oleh seseorang yang menginjak usia remaja. Usia Remaja merupakan usia yang
sangat rentan dalam hal perkembangan perilaku dan merupakan usia yang potensial
bermasalah. Karena pada masa ini, remaja sedang mencari jati dirinya. Bahkan,
sebagian besar perilakunya tumbuh berdasarkan faktor eksternal yang
membentuknya. Seperti keluarga, teman sebaya, bahkan sekolah. Apa yang dilihatnya
sehari-hari akan menjadi perilaku yang dilakukannya kemudian.
Dalam periode usia remaja ini timbul
gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari
situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah
mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat
penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai
cara sebagai penyaluran. Salah satunya adalah
“tawuran”.
“Tawuran”, hal yang semakin sering terdengar
akhir-akhir ini. Bahkan, seperti sudah kami sebutkan sebelumnya bahwa tawuran
semakin sering terjadi di kota-kota besar. Hal yang terjadi pada saat tawuran
sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu
atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey,
Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan
dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum
orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan
untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Permasalahan tawuran kini telah meluas
lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas.
Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun
efek bersamaan. Efek yang
ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan, penodongan, pembajakan
angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Maka dari itu, tawuran saat ini tidak dapat dikatakan
sebagai masalah biasa, karena dampak yang ditimbulkan menjadi sangat banyak dan
bisa saja menimbulkan masalah sosial yang merugikan.
B. ANALISIS
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tawuran bisa terjadi.
Diantaranya :
1.
Faktor Internal
-
Mudah
dipengaruhi teman
-
Solidaritas
Kelompok (Peer Group)
-
Nyali
yang tinggi
-
Belum
bisa mengontrol emosional
-
Menghilangkan
rasa bosan / stress
-
Ingin
menyatakan diri bahwa ia “sudah dewasa”
-
Kurang
penghayatan terhadap agama
-
Agar
diterima dalam suatu kelompok
-
Tidak
berada dalam pengawasan diri dari orang tua
-
Kontrol
diri sangat minim
-
Suka
mencari sensasi dari hal-hal yang negative
2.
Faktor Eksternal
a. Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah
antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika
meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga
adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua
yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu
yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik.
Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai
bagian dari identitas yang dibangunnya.
Usia remaja juga
merupakan masa pencarian identitas diri. Ketika komunikasinya dengan orang tua
tidak terjalin dengan baik, maka penghargaan anak terhadap orang tua pun
menjadi berkurang. Akibatnya, apapun nasehat dari orang tua tidak didengarkan.
Selain itu, orang tua
yang terlalu otoriter juga menjadi salah satu penyebab anak justru mencari
kepuasan dirinya dengan melakukan hal-hal negative dan ia menjadi mudah
terpengaruh oleh lingkungan yang justru mendukung perilaku nya.
b. Lingkungan Pergaulan
Lingkungan teman sebaya (peer educator) juga sangat menentukan. Karena mayoritas waktu kita
dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Apalagi jika kita mendapat pengakuan
lebih dari Peer Educator dibandingkan
dengan keluarga.
c.
Sekolah
Suasana sekolah yang
tidak merangsang siswanya untuk belajar juga akan menyebabkan siswa lebih
senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Seringnya,
guru malah lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan. Bahkan
otoriter dan seringkali menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk yang
berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk
siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru dan sistem yang
ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam berperilaku.
Selain itu, pengawasan
dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan. Pihak sekolah harus lebih peka
terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa sehingga dapat cepat ditindak.
Pembelajaran tentang agama pun harus lebih ditingkatkan. Setidaknya
pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus diselesaikan dengan cara
tawuran.
d.
Kebijakan Pemerintah
Adanya kebijakan dan
pengambilan keputusan yang salah dari pemerintahan pusat kepada daerah. Hal
tersebut sesuai dengan yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kurikulum yang
ditetapkan pemerintah juga turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar.
Hal ini disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam kurikulum yang
telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan
melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan
melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
e.
Faktor Lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang
sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian.
Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang
berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang
sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional
f.
Alumni
Alumni juga merupakan
salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri.
Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam
tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi
bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab
konflik itu terjadi. Selain itu,
ada beberapa siswa yang merasa tertekan dengan doktrin beberapa alumni yang
mengatakan bahwa tawuran merupakan adat turun temurun dan diannggap sebagai
angkatan yang cupu kalau tidak
dilakukan lagi.
g.
Peraturan
Perundang-Undangan
Perundang-undangan yang lemah juga dapat memicu
timbulnya tawuran, karena mereka merasa aman ketika bersama-sama melakukan
tindak kriminal. Tidak ada rasa takut lagi karena mereka fikir akan sangat
panjang jika masalah tawuran ini dibawa ke jalur hukum. Dan mereka akan merasa
terlindungi karena melakukan tawuran itu tidak sendiri-sendiri melainkan banyak
orang yang terlibat.
C. Teori Yang Berkaitan dengan Tawuran
1.
Teori Belajar Sosial
Teori ini berasumsi bahwa tingkah
laku manusia dapat dipelajari selama adanya interaksi dengan orang lain dan
dengan lingkungan sosialnya. Dalam teori ini disebutkan bahwa ada proses
biologis dan psikologis seseorang yang akan mempengaruhi emosi dan pikirannya. Teori belajar
sosial memandang bahwa perilaku individu tidak semata - mata dilakukan
karena adanya
stimulus. Melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan ( imitation ) dan penyajian
contoh perilaku (modeling). Melalui pemberian reward and punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak
lepas dari interaksi antara manusia dengan lingkungan, dan sebagai makhluk
sosial manusia tidak dapat hidup sendiri. Perilaku timbul karena adanya
interaksi antara lingkungan dengan individu. Perilaku timbul bukan karena
semata - mata refleks otomatis melainkan juga akibat reaksi yang timbul dari
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu. Apabila
perilaku itu bersifat baik maka akan menimbulkan norma dan moral yang baik. Begitu
juga sebaliknya.
Seperti sudah disebutkan
sebelumnya bahwa dalam tawuran ini ada pengaruh dari aspek eksternal. Pengaruh
dari aspek eksternal ini yang akhirnya dijadikan individu sebagai sebuah
pembelajaran bagi tumbuh kembang perilaku dan kognitif mereka. Ketika
lingkungan memberikan input yang baik pada seorang individu, maka secara tidak
langsung individu tersebut akan belajar hal-hal yang baik dari lingkungan.
Sementara sebaliknya, bila individu mendapat pengaruh yang buruk dari
lingkungan, individu juga akan belajar. Contoh kecilnya adalah keluarga. Ketika
keluarga sering ribut atau sering terjadi KDRT, maka anak akan merasa bahwa
kekerasan adalah bagian dari dirinya. Maka wajar jika anak-anak yang sudah
biasa hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan akan juga melakukan
kekerasan seperti contohnya tawuran. Ia akan merasa bahwa kekerasan adalah hal
yang wajar dilakukan oleh seseorang.
2.
Teori Frustasi – Agresi
Teori Frustrasi-Agresi
atau Hipotesis Frustrasi-Agresi (frustration-Aggression
Hypothesi) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan
memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang
menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini,
agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang
cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
Seperti sudah
disebutkan sebelumnya, bahwa tindakan tawuran ini juga dipengaruhi oleh aspek
Internal individu. Ketika individu merasa adanya tekanan dalam dirinya dan
tidak ada penyaluran, maka tawuran lah yang menjadi salah satu penyaluran bagi
perilaku seorang individu. Contohnya ketika seorang individu kalah dalam suatu
pertandingan (ia mendapat hambatan ketika mencapai tujuannya), maka akan timbul
dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilakunya untuk melukai
orang. Salah satu caranya ialah dengan tawuran.
Begitu juga ketika
seorang individu merasa tertekan, tidak ada keluarga yang mengawasi dan
melindunginya dengan baik, maka individu cenderung mengikuti apa yang teman
sebayanya lakukan. Seperti ketika teman sebayanya mengajak untuk tawuran, maka
kontrol diri dari individu tersebut akan lemah dan ia akan cenderung mudah
dipengaruhi.
3.
Teori Ekologi
Strategi yang dipilih
seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu
waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan.
Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi
kualitas fisik. Berbicara mengenai kualitas fisik, Rahardjani dan Ancok (dalam
Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku
yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut
Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan
mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo,
1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu
efek kesehatan dan efek perilaku. (http://www.masbow.com/2008/05/tawuran-pelajar-ditinjau-dengan.html)
Tawuran dapat juga
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan. Misalnya ketika jarak sekolah yang
terlalu berdekatan, sementara lingkungan sekitar tidak nyaman (contoh :
bisingnya kendaraan bermotor, adanya terminal, orang berdesakan, dsb) sehingga
menyebabkan emosi masing-masing individu lebih mudah terpancing. Selain itu,
kualitas lingkungan yang nyaman dapat membuat pelajaran yang diterima di
sekolah dengan mudah masuk dan diterima. Apalagi bila di sekitar lingkungan
sekolah terdapat fasilitas belajar yang memadai. Misalnya dekat dengan
perpustakaan, taman kota, atau tempat-tempat yang bisa dipakai untuk
refreshing. Hal itu akan jauh berbeda dampaknya dibandingkan dengan sekolah
yang dekat dengan terminal misalnya. Pulang dari sekolah, mereka nongkrong,
merokok, dan dipaksa untuk melihat kekerasan sosial yang terjadi di sekitar
sekolah mereka. Hal ini yang juga menyebabkan akhirnya perilaku dan mindset mereka terbentuk oleh lingkungan
di sekitar sekolah.
D. SOLUSI
Dari
uraian di atas, dapat kami
simpulkan beberapa solusi untuk mengurangi konflik yang terjadi pada
pelajar remaja.
Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menata ulang kurikulum pendidikan
di Indonesia yang sesuai dengan kultur budaya di Indonesia. Hal ini dapat
membuat siswa menjadi nyaman dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Apabila siswa merasa nyaman, maka mereka tidak akan mencari kegiatan lain yang
dapat mencelakakan diri dan orang lain serta cenderung untuk tidak melakukan
penyimpangan. Kenyamanan juga
dapat berpengaruh kepada rasa memiliki dan cinta almamater. Dampaknya, siswa
akan memikir dua kali jika akan melakukan tawuran. Karena jelas mencoreng nama
baik almamater dan pribadi
Selain itu diharapkan pihak sekolah selaku
institusi pendidikan harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi siswa.
Pihak sekolah juga harus mampu membuat kegiatan yang dapat mengisi waktu luang
para siswanya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah kontrol dari lembaga inti yakni lembaga
keluarga. Dalam sebuah keluarga hendaknya terdapat hubungan yang komunikatif sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam anggota keluarganya. Keluarga dan sekolah merupakan dua aspek
penting yang dapat berpengaruh pada kontrol diri dari anak. Harus terjadi
komunikasi yang baik antara keluarga – individu – sekolah sehingga keluarga
dapat mengetahui perkembangan anak dari segi kognitif maupun perilaku agar anak
tidak terlalu jauh terjerumus pada hal-hal negative yang didapatkannya di luar
lingkup keluarga. Selain itu, perkuat juga undang-undang yang mengatur tentang
tawuran berikut hukumannya.
Dipostkan oleh : Ajruni Wulandestie Arifin
Kamis, 25 Oktober 2012 pukul 20:54 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar